Pertama : Nikah hukumnya wajib,
bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya
bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa
terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di
dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi orang yang mempunyai syahwat, dan
mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan.
Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah
sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan
Dia Mempunyai Harta “.
Ketiga : Nikah hukumnya mubah,
bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi
orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat.
Keempat : Nikah hukumnya makruh
bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah
syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk
dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya
tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak
terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit
sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu
tertarik dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang
mempunyai keinginan untuk menikah,
tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah
makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai
harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama
berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak
dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah.
Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.
Pendapat Kedua : Menikah baginya
lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah
serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa
membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak,
menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya
ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu
melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang
suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin
hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram,
bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan
istri dan anak.
Syekh al-Utsaimin memasukan
pernikahan yang haram adalah pernikahan
yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena
dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan
budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.
Demikian penjelasan singkat
tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para
ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam
sumber diambil dari ahmadzain.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar